Halo selamat berbahagia semuanya!!!!
Karena "selamat malam" sudah
begitu mainstream dalam kehidupan blog saya yang keren ini.
#PujilahTentangmuSebelumOrangLainMemujinya #Ihik #Soft.
Sebenernya males sih bilang kalau saya salah
satu mahasiswi yang sedang menggeluti bidang psikologi. Bukan males karena saya
gak suka dengan bidang yang tidak sengaja saya pilih ini untuk menghias nama
belakang saya ketika wisuda nanti. Bukan sama sekali. Cerita sedikit, saat saya
lulus SMA saya sama sekali tidak ingin yang namanya kuliah. Sungguh tidak ingin
dan tidak tertarik untuk menjadi mahasiswi di universitas mana pun. MANA PUN.
Saya masih belum siap untuk benar-benar memilih jurusan apa yang saya pikir
menggambarkan diri saya. Saya pikir kuliah adalah suatu sarana bagi saya untuk
berhubungan dengan masa depan [....yang cerah], yang mana saya harus
benar-benar menyukai bidang tersebut. Karena jika tidak bagaimana saya bisa
menikmati sisa hidup saya jika saya sangat tidak mengukai pekerjaan yang saya
pilih berdasarkan hasil jerih payah saya kuliah. Masih berkorelasi lah ya
maksud saya antara kuliah di jurusan apa dan bekerja jadi apa setelah lulus
dari jurusan tersebut. Begindang. Saya lebih tertarik dengan pendidikan
kedinasan. Sejak kecil saya jarang membayangkan kalau saya akan kuliah seperti
yang sinetron-sinetron Indonesia gambarkan. Setelah satu tahun lamanya saya mencoba
untuk mengikuti berbagai tes masuk pendidikan kedinasan dan selalu saja, bukan
rezeki saya.
Begitu banyak desakan dari orang-orang sekitar saya untuk... "Kamu tuh mau kemana sih? Mau
jadi apa? Kuliah gih..." hingga
ancaman dari sahabat "Gue gak mau tau lu harus kuliah tahun ini
ya!". Dari dalam diri sesungguhnya masih tidak tahu untuk lanjut
kemana dan ambil jurusan apa di universitas mana, namun separuh dari diri saya
pun berkontribusi dalam berpikir serta memaksa agar lekas membuat pilihan untuk
kuliah. Ibunda saya menyuruh untuk ikut tes masuk bersama perguruan tinggi
negeri dan kemudian saya mendaftar untuk iseng semata [kurang ajar], saking
frustasinya jadi pengangguran hampir setahun lamanya. Saya akhirnya benar juga
mengikuti tes tersebut, saya dapat tempat tes di Kebayoran Baru di salah satu
SMK Penerbangan terkenal disana. Selama beberapa hari saya pergi dengan adik
kelas saya yang tidak disangka-sangka ia juga dapat tempat tes di tempat yang
sama dengan saya, Ferguson namanya. Saya tidak menganggap itu sebagai beban
"kerjakan apa yang bisa dikerjakan, jika ragu maka jangan menjawab"
itu prinsip saya dalam mengisi jawaban soal soal tersebut.
Saya tidak menunggu
hasilnya secara antusias. Bahkan saya tahu kapan hasilnya diumumkan saat orang-orang ramai
di twitter mengenai pengumuman. Banyak ucapan selamat di timeline banyak juga
yang menyemangati diri sendiri karena tidak lulus tes. Baru saya mengecek milik
saya dengan memasukkan nomor tes dan lain lain, hasil tes saya muncul
"Selamat Anda Diterima di Universitas Brawijaya Jurusan Ilmu Administrasi
Publik". Saya cukup senang dengan hal ini Malang adalah salah satu kota
yang bersuhu rendah, kota yang saya tahu dari teman-teman adalah kota yang asri
meskipun kecil, dan cukup damai untuk menjadi pelajar di kota sana. Sebab saya
sangat suka suhu rendah, saya suka ketenangan, saya suka menyendiri, saya suka
keasrian. Ahhhhh bahagianya. Banyak sekali teman-teman, sahabat, adik-adik
kelas dan orang-orang lain yang memberikan ucapan selamat. Karena memang tidak
mudah lulus tes SBMPTN [pada saat itu namanya], “Rezeki..” lirihku. Senangku
bertambah dengan teman-teman yang sudah mengenyam bangku perkuliahan di Kota
Malang bergembira dengan hasil tersebut “Yay… Malang makin rame!” mungkin
begitu gerutuannya. Namun, hal tersebut tidak disambut begitu baik oleh orang
tua saya yang sedikit kecewa karena mereka masih menginginkan saya untuk berkuliah
dengan almamater kuning. Ya... Universitas Indonesia, kampus pilihan pertama
saya dengan impian akan diterima di salah dua dari jurusan FISIP-UI. Mungkin
bagi mereka Malang terlalu jauh. Saya tidak terlalu berharap masuk UI sih,
karena apa? Depok panas! hahahahha bego memang. Saya tipikal orang yang memang
terobsesi dengan hasil namun tidak luput juga bagi saya untuk memikirkan
prosesnya. Saya senang belajar di lingkungan dan fasilitas yang mendukung pula.
Saya masih berprinsip dimanapun belajarnya jika kebutuhan-kebutuhan saya
terpenuhi dengan sempurna maka saya akan mampu memberikan hasil yang optimal.
Cupu memang. Saya bisa jadi unmood untuk belajar ketika tidak ada jaringan
internet, padahal belajarnya tidak begitu membutuhkannya namun internet bisa
menjadi salah satu penguat rasa ingin belajar saya, unmood belajar saat pulpen
kesukaan saya hilang. Macam-macam jenis alasan. Orang bilang saya
procastinator, saya menjawab terkadang ya dan terkadang tidak.
Saya diharuskan untuk daftar ulang mahasiswa
baru di calon kampus saya itu, pada dua hari sebelum penutupan pendaftaran
mahasiswa baru, saya tiba di Malang bersama teman-teman lainnya.
Alhamdulillahnya itu bulan Ramadhan. Alhamdulillahnya lagi kami naik kereta,
buka puasa di kereta, sahur di kereta, ketiduran di kereta, pokoknya
semua-semua di kereta. Memakan satu harian full di kereta. Tidak salah apa yang
telah diceritakan teman-teman soal Malang. Udaranya sejuk, rapih, menyenangkan,
dan masih banyak sekali kesan yang tersisa yang saya ingat hingga saat ini.
Ahhhhh saya begitu jatuh cinta dengan Malang si kota bakso ini. Sudah banyak
bayangan apabila benar terwujud jika saya akan tinggal di Malang nantinya,
kurang lebih selama 4 tahun untuk dapat gelar S1, sarjana ilmu administrasi
negara. Selama di Malang, saya berkeliling, ke alun-alun kota Batu di malam
hari, makan ketan susu legenda. Seru sekali meskipun hanya dua hari saja.
Selang beberapa minggu setelah saya sampai
di Jakarta dengan hati riang sebab akan segera menjadi perantauan ada pertemuan
keluarga besar. Biasa, berziarah lalu makan-makan sepulangnya, di sebuah
restoran. Para paman dan ayahanda berdiskusi soal hal ini, maklum saya cucu
perempuan pertama dan cukup mendapat perhatian segala gerak-geriknya. Mulai
pacaran sama siapa, di sekolah ranking berapa, nilai rata-rata berapa…. Cukup
rumit memang. Salah satu paman saya mengatakan bahwa untuk berkuliah di Jakarta
saja dan mengambil jurusan Psikologi di salah satu universitas dengan alasan
dekat dengan rumahnya dan dari rumah saya pun tidak begitu jauh. Entah mengapa
semangat saya untuk kuliah di luar kota pun sedikit memudar karena kurangnya
dukungan serta pemikiran orang tua yang kembali berubah. “Ada benarnya
juga…kuliah di Jakarta saja..” ayah saya berkata. Mood saya untuk berkuliah kembali
menurun dan sangat pasrah dengan keputusan-keputusan yang entah dari mana
datangnya. Sempat saya memberi argument perihal jurusan apa yang saya inginkan
dan kampus mana yang saya inginkan pula. Singkat cerita si frustasi, sang
pembuat cerita ini pasrah akhirnya mendaftarkan dirinya di kampus yang
berhadapan dengan jalan tol yang tidak pernah sepi, kadang bukan terlihat
seperti jalan tol, melainkan parkir gratis di jalan tol. Ya Universitas Esa
Unggul.
Menarik kembali ke beberapa hari sebelum
saya mendaftar, yang saya khawatirkan bukan lagi universitas mana, melainkan
jurusan apa. PSIKOLOGI! Waw! Pada saat itu, apa yang saya pikirkan tentang
seorang psikolog adalah mirip dewa, mendekati nabi. Tidak punya masalah, bisa
membuat orang yang mentalnya rusak jadi benar lagi.Saya menceritakan hal ini kepada sahabat
saya yang meluruskan tentang pemikiran saya yang salah. “Saya memutuskan untuk
mau kuliah dimana, jurusan apa saja masih tidak becus dan mesti konsultasi sana
sini, bagaimana saya bisa menjadi seorang psikolog” jauh sekali daya piker
saya, konyol sekali. Saya begitu takut jika nanti saya benar menjadi seorang
psikolog saya akan gagal membuat klien saya puas dengan saya. Saya menangis
sambil membuat keputusan. Dulu saya sempat, mungkin waktu kelas 1 SMA
membicarakan “saya ingin ambil jurusan psikologi saat kuliah nanti” pada orang
tua, namun mereka tidak setuju. Entahlah, pada akhirnya saya sekarang sudah
menjadi mahasiswi semester 4 psikologi di kampus emas tersebut.
Banyak hal yang merubah jalan pikiran
saya. Cara saya menulis, sudut pandang saya menulis, cara pandang saya terhadap
orang-orang di sekitar dan banyak hal lainnya yang berubah dan terasa sekali.
Masih banyak yang saya harus perbaiki perihal diri pribadi sebelum saya
memperbaiki pribadi orang lain. Saya masih pusing paham mana yang saya harus
anut; psikoanalisis, behavioral atau yang lain-lain. Masih ada beberapa
semester lagi sebelum saya bergelar S1. Doakan saya mampu menggali potensi saya
dan kuat dengan materi pembelajaran yang saya rasa cukup berat karena
melibatkan banyak memori masa lalu di otak. Hahahahahaha. Tapi, psikologi tidak
semenyeramkan itu. Saya sangat menyukainya. J